Dalam
bis ini, kali pertama aku melihat wajahmu. Ada semacam getar jiwa yang
merambat ke rongga dadaku, mengalir menelusuri aliran darah dan akhirnya
sampai ke nadi. Menembus glandula sudorifera dan mengacaukan kerja
Krause’s corpuscle , keringat dingin pun mengucur deras. Suara merduku
tiba-tiba berubah parau. Pandangan mataku tertuju pada kedua bola mata
biru muda. Ingin
rasanya kutahan waktu, membiarkan momen sepersekian detik ini
berlangsung lebih lama lagi. Sebab kutahu, kesempatan langka ini
hanyalah terjadi sekali seumur hidup.
Kau pun menundukkan pandanganmu, seolah menyadari bahwa seorang lelaki kumal di depanmu ini telah mencuri pandang ke arahmu. Aku jadi gagap, lagu yang barusan kunyanyikan tak seirama lagi dengan suara gitar yang kupetik. Nada yang kuambil semakin tak beraturan, do jadi la, re jadi fa, pitchku naik turun tak bisa lagi dikendalikan. Parahnya lagi, aku tak lagi bernyanyi lagu yang sama. Tepuk tangan penumpang bis riuh-rendah memecah kebisuan. Sindiran dan ejekan silih berganti memenuhi ruangan berkapasitas 30 orang ini. Tapi tak sedikitpun kutaruh peduliku padanya. Apa yang kuperhatikan hanyalah segaris senyum sepersekian detik yang tiba-tiba lenyap dan sorot sepasang bola mata biru muda yang tiba-tiba layu. |
Aku mengambil plastik bekas permen Relaxa yang biasa
aku gunakan untuk mengumpulkan uang-uang receh sisa kembalian yang
sudah tak berharga. Namun, dari benda-benda kecil itulah hidupku tetap
bisa dipertahankan, agar cacing-cacing dalam perutku tidak terus-terusan
merengek minta makan.
Secara sigap aku mulai menyodorkan plastik ini kepada orang-orang dalam bis . Tak lupa ucapan terima kasih karena telah mendengar lagu, lebih tepatnya racauan nada yang baru saja kulantunkan dengan teramat ‘merdu’. Tiba saatnya aku berada di hadapanmu. Lihatlah itu, hei senyum itu kembali mengembang. Bola mata biru muda itu kembali menyorot dengan tajam. Kau mengambil dompet yang kau taruh dalam tasmu, mengeluarkan selembar kertas berwarna merah bertuliskan ‘seratus ribu rupiah’. Aku terpaku di hadapanmu, tak bergerak seincipun. Seperti ada pasak yang menahan kakiku untuk beranjak dari tempat di mana ku berdiri saat ini. “ Mas, suara mas bagus banget“. “ Ma.. makasih banyak mbak ” . “ Itu buat nambah-nambah beli gitar baru. Kayaknya gitar mas udah perlu dimusiumin deh… hehe “. “ Oh, ini… i.. iya mbak saya juga pengen beli gitar baru… tapi..”. |