Aku duduk di ruang tamu. Ayahku masih asyik membaca Koran sambil menikmati seseduh kopi hangat di pagi itu. Entah mengapa pagi ini aku ingin sekali melihat-lihat album foto keluargaku. Keluarga yang terlahir begitu sempurna. Sempurna karena hanya aku satu-satunya anak di keluarga ini. Ya, sempurna karena aku bisa merengek-rengek minta dibelikan balon pada ayah, atau bermanja-manja pada ibu. Ya, aku amat suka saat-saat seperti itu. Tapi itu dulu, dulu sekali. Kini aku telah beranjak remaja. Aku tak bisa lagi berbuat seperti itu. Ayahku mulai sedikit keras mendidikku. Maklumlah, beliau khawatir anak satu-satunya ini melakukan hal-hal bodoh seperti teman-temanku di luar sana.
Kuambil album foto hitam-putih yang berjudulkan “Album Kenangan”. Di situ ada foto-foto ayah sewaktu remaja. Ada juga foto-foto waktu ibu ‘ditembak’ ayah, maksudnya diajak menikah. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat foto-foto masa remaja ayah, menyadari bahwa kini gilirankulah memasuki fase itu. Kubuka satu persatu kenangan masa lalu ayah ibu. Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatianku. Foto bocah kecil yang ada di antara foto ayah dan ibu. Hm, aku sama sekali tidak mengenalnya. Aku pun bertanya-tanya pada ayah mengenai siapa bocah kecil itu. Tapi ayah tak pernah mau jujur. Suatu ketika ia pernah berkata bahwa ia adalah anak pembantu keluarga ini. Di kali lain dia mengatakan dia bukan siapa-siapa. Terbawa oleh rasa penasaran yang berlarut-larut, aku pun mulai mencari tahu identitas bocah kecil tersebut. Aku juga masih terus-terusan mendesak ayah untuk memberitahuku identitas bocah tersebut yang sebenarnya. Tapi ayah masih saja bungkam. Dahi ayah selalu berkerut saat mendengarku menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Terakhir kali aku menanyakan hal itu pada beliau, beliau marah besar. Aku hampir ditamparnya, kalau saja ibuku tidak mencegahnya. Ayah dibawa ibu ke kamar. Lalu disuruh ibu istirahat, kecapaian katanya. Ibu menasihatiku agar tidak menanyakan hal itu lagi pada ayah. Aku pun menurut saja. Semenjak kejadian itu, ayah jadi sering murung. Ia sering menyendiri, berbicara pada diri sendiri, sekali dua kali aku melihat beliau menitikkan air mata. Ayah jarang makan. Kalaupun makan hanya sesuap dua suap saja. Aku makin penasaran, ada apa dengan ayah? Apakah pertanyaanku pada beliau menyakiti hati beliau? Ah, sudahlah. Aku mencoba melupakannya. Toh, rasa sayangku pada ayah jauh lebih besar dari rasa penasaranku pada bocah kecil ingusan itu. Akhir-akhir ini keadaan ayah semakin memburuk. Dokter memvonis dia terkena suatu penyakit, yang terjadi karena kesedihan dan penyesalan yang berlarut-larut. Ditambah kurang tidur dan jarang makan, semakin memperburuk kondisi ayah. Kini ayah hanya bisa terbaring di kamar. Aku sungguh menyesal pernah menanyakan hal itu pada ayah. Gara-gara aku, ayah jadi begini. Maafkan aku, ayah. Aku tak percaya ayah pergi secepat ini. Dan aku semakin menyesal, akulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Ibu menangis sesenggukan di kamar. Menatapi dua bola mata ayah dan seberkas senyum dari bibir tipis itu. Aku berusaha untuk tidak menangis. Karena aku anak laki-laki dan kini aku sudah remaja. Tidak boleh cengeng seperti anak kecil, pikirku. Karena aku Saeko Takada. Kata ibuku, Saeko Takada itu artinya “ Keberanian memperjuangkan kebenaran “. Entah dari bahasa apa, aku pun tak tahu. Yang jelas bukan dari Bahasa Jepang. |
Semenjak ayah meninggal, frekuensi tidurku menurun drastis. Aku lebih sering merenung, mencoba mencari benang merah yang menghubungkan antara kematian ayahku, dengan bocah kecil itu. Jujur sampai sekarang, aku tak pernah bisa melupakan foto bocah kecil itu. Foto yang menyimpan segudang misteri. Ada apakah gerangan? Siapa bocah kecil itu? Aku ingat ayah sempat berpesan pada detik terakhir menjelang kematiannya. Tapi suasana hati ini terlalu berisik, terlalu banyak perasaan-perasaan yang menghantuiku pada saat itu sehingga aku tidak terlalu mendengar pesan ayah. Yang kuingat hanyalah sebaris kata yang terputus – putus : “menyesal…Carilah…… sampaikan…. Maaf…. pada.. …”. Ah, seandainya saja aku bisa mengingat pesan ayah secara utuh!
Namun, aku tetap bertekad untuk mencari tahu semua ini. Aku juga bertekad untuk mewujudkan keinginan ayah untuk melihat anaknya dilantik menjadi seorang perwira polisi. Ya, tersenyum bangga di surga sana. “ Ayah, apakah aku boleh menjadi seorang polisi? Aku sering meilhatnya di film2. Polisi itu sangat gagah, punya seragam yang keren..” “ Anakku, menjadi polisi itu bukan masalah punya seragam yang keren. Menjadi polisi itu adalah tugas yang amat berat. kau tahu kenapa? Berbicara polisi adalah berbicara tentang penegakan hukum. saat ini, kepolisian negeri ini butuh orang yang jujur dan bertanggung jawab. Sedangkan kebanyakan penegak hukum sekarang adalah para bedebah yang haus akan uang. Hukum mereka perjualbelikan seenaknya. Kau tahu akibatnya? Kau akan banyak melihat orang-orang seperti Gayus Tambunan berkeliaran, piknik ke sana sini. Padahal masih dalam masa tahanan. Sedangkan seorang nenek dihukum 5 tahun hanya karena mengambil, bukan mencuri, sebiji coklat yang terjatuh dari pohon pemiliknya. Itulah anehnya hukum di negeri ini. Mudah diperjualbelikan! Apa kau siap menjadi sedikit dari orang langka yang mengubah citra kepolisian?” “ Aku berjanji ayah. Aku akan menjadi polisi yang jujur dan bertanggung jawab.” “ Ayah percaya padamu. Ayah yakin kau mampu mengubah wajah negeri ini.” “ Yah…. Aku mau Tanya satu hal deh… Kalau suatu saat nanti aku dilantik menjadi perwira polisi, sedangkan ayah harus bertemu orang penting, seperti pak Menteri, pada hari yang sama, mana yang lebih ayah pilih?” “ Tentu saja kau anakku. Hatta Pak Presiden mengundangku untuk makan bersama pun, aku lebih memilih bersamamu. ” “ benar yah? Ayah janji? Tapi kenapa ayah? “ “ Karena bagiku, berlian termahal di dunia sekalipun tak lebih berharga daripada dirimu, anakku. Sudahlah… ayo kita tidur.. sudah malam. “ Kami berduapun tidur. Aku tak menyangka itu adalah obrolan pribadi terakhir antara aku dan ayah sebelum kejadian yang amat tidak aku inginkan itu. Kini, tak ada lagi yang lebih membuat aku penasaran selain bocah kecil itu. Siapakah bocah kecil itu? Dan apa hubungannya dengan keluargaku? |